Budidaya rumput laut Indonesia masih tertinggal
dibandingkan negara pesaingnya seperti Filipina dan China. Indonesia dianggap
baru masuk dalam tahap pertumbuhan.
Namun seiring upaya keras pelaku di
sektor pertanian ini, posisi Indonesia sebagai penghasil rumput laut mulai
diperhitungkan dunia. Terbukti dar keputusan penyelenggaraan simposium rumput
laut bertaraf internasional yang kali ini mengambil tema ‘Seaweed Science for
Sustainable Prosperity’ di Bali, akhir April mendatang.
“Ini merupakan legitimasi dunia,”
ujar Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), Safari Azis dalam
keterangan tertulisnya, Senin (4/2/2013).
Indonesia pertama kali mengekspor
rumput laut kering hasil budidaya jenis Eucheuma spinosum dari pantai Terora,
Nusa Dua, Bali pada 1981. Pada 1982, Pemrakarsa rumput laut di Indonesia,
Hariadi Adnan, membawa enam kilogram bibit Eucheuma Cottonii dari Filipina yang
berkembang sampai sekarang ke hampir seluruh pelosok tanah air.
Indonesia pertama kali melampaui
volume produksi rumput laut Filipina pada 2008. Pencapaian ini membuat
International Seaweed Association (ISA) pada International Seaweed Symposium
ke-20 di Meksiko memutuskan bahwa Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan
International Seaweed Symposium 2013.
Dengan sejumlah perkembangan yang
ada, ARLI mengusulkan perlunya penataan pola dan strategi pengembangan rumput
laut nasional. Selama ini diakui, evaluasi industri pengolahan yang telah dan
akan dibangun oleh pemerintah di beberapa daerah dibuat tanpa perencanaan dan
studi kelayakan yang matang.
ARLI juga menyesalkan belum adanya
tindak lanjut pemerintah terhadap usulan pembuatan Peta Jalan Rumput Laut
Naisonal yang sudah sejak lama diusulkan. Padahal, Indonesia berpeluang menjadi
negara terkemuka di bidang rumput laut. (SPC-20/liputan6)
Sumber berita: http://suarapengusaha.com/2013/02/04/pengusaha-industri-rumput-laut-indonesia-tertinggal-dari-filipina-china/
0 comments:
Post a Comment