Ekosistem rumput laut dunia tengah menghadapi krisis
lingkungan dan perubahan iklim. Setiap tahun, sebanyak 7% hamparan rumput laut
dunia hilang akibat ulah manusia. Tingkat kerusakan ini diperkirakan akan terus
meningkat seiring dengan kenaikan permukaan air laut akibat pemanasan global.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru yang diterbitkan
dalam jurnal “Global Change Biology” yang disusun oleh Dr. Megan Saunders,
peneliti dari Global Change Institute, milik University of Queensland. Ia dan
tim bekerja sama dengan Centre of Excellence for Environmental Decisions (CEED)
meneliti ekosistem rumput laut dunia.
Menurut Dr. Saunders, ancaman terbesar bagi ekosistem rumput
laut dunia adalah hilangnya akses terhadap cahaya matahari. Saat kondisi perairan
semakin keruh dan dalam akibat ulah manusia serta kenaikan air laut, hamparan
rumput laut semakin sulit mendapatkan akses terhadap sinar matahari yang
penting bagi pertumbuhannya.
Dalam penelitian ini, tim peneliti memanfaatkan lahan basah
di wilayah Moreton Bay, Australia, sebagai laboratorium alam guna meneliti
reaksi ekosistem rumput laut menghadapi ancaman kenaikan permukaan air laut
yang diperkirakan mencapai 1,1 meter pada akhir abad ini.
Menurut Dr. Saunders – tidak seperti terumbu karang – rumput
laut adalah ekosistem laut yang “terlupakan”. “Rumput laut tidak banyak
mendapatkan perhatian dari media maupun pemangku kebijakan sebagaimana terumbu
karang,” tuturnya. Padahal fungsi dari terumbu karang sangat penting bagi
samudra dan masyarakat.
Ekosistem rumput laut adalah lokasi perkembangbiakan ikan
dan kerang yang mendukung ketersediaan pangan bagi manusia. Rumput laut juga
menyerap emisi karbon dalam jumlah yang sangat besar. Sehingga peran rumput
laut dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim juga besar.
Rumput laut menyerap 48-112 juta ton karbon setiap tahun. Saat rumput laut
rusak karbon-karbon ini akan terlepas kembali ke atmosfer memicu pemanasan
global.
“Jika kita bisa menjaga luas wilayah rumput laut, kita bisa
memerlambat pemanasan global sekaligus mengembalikan potensi perikanan dunia,”
ujar Dr. Saunders. Rumput laut juga membersihkan lautan dengan cara menangkap
sedimen dan nutrisi yang masuk ke laut.
Tim peneliti memerkirakan, saat air laut naik sebesar 1,1
meter pada akhir abad ini, luas ekosistem rumput laut di Moreton bay akan
berkurang hingga 17% hanya karena hilangnya akses terhadap sinar matahari.
Nilai kerusakan yang sama bisa terjadi di seluruh dunia, walau angka persisnya
tergantung pada lokasi ekosistem rumput laut.
Menurut Dr. Saunders kunci menyelamatkan ekosistem rumput
laut bergantung pada kemampuan kita mengendalikan erosi dan pembuangan limbah
dari sungai atau saluran air setempat. Cara ini bisa diwujudkan dengan
menghijaukan kembali kawasan pesisir pantai dan pinggiran sungai, serta
mengelola limbah cair masyarakat agar tidak terbuang ke laut tanpa pengolahan.
Untuk itu, peran pemerintah lokal penting dalam menciptakan
kebijakan laut dan wilayah pesisir yang lestari guna menjaga agar ekosistem
rumput laut mampu bertahan di tengah ancaman kenaikan permukaan air laut.
“Pemerintah diharapkan bisa mencegah pembangunan bangunan penahan gelombang,
jalan dan perumahan di sekitar wilayah pesisir pantai,” ujar Dr. Saunders.
Alih-alih pemerintah harus menanam mangrove
dan vegetasi pesisir lain agar ekosistem rumput laut bisa berkembang.
Penelitian di Moreton Bay menunjukkan, aksi hijau di wilayah
pantai itu akan bisa mengurangi kerusakan ekosistem rumput laut dari 17% ke 5%,
tergantung pada kemampuan menciptakan pasokan cahaya matahari yang cukup bagi
ekosistem rumput laut. “Informasi ini penting bagi perencana wilayah pesisir
guna mengantisipasi perubahan akibat kenaikan permukaan air laut dan perubahan
iklim,” ujar Dr. Saunders.
Keren abis infonya
ReplyDelete